umroh 2013

umroh 2013
me n sis

Rabu, 24 Desember 2014

pembaharuan pemikiran qasim amin



Pembaharuan Pemikiran Qa>sim Ami>n
Oleh:
Fatmawati*
“Perbaikan keadaan suatu bangsa tak mungkin terwujud tanpa memperbaiki kedudukan wanita”. (Qa>sim Ami>n)[1]
A.  Pendahuluan
Pada penghujung abad ke-19 muncul gerakan emansipasi wanita di Mesir mengikuti gerakan Nasionalisme Mesir. Kedua gerakan ini lahir akibat kontak dan konfrontasi dengan peradaban modern dari Barat. Kehadiran orang Eropa di Mesir sewaktu ekspedisi Napoleon dan pendudukan Inggris serta lemahnya sebagian adat-istiadat di Mesir menyebabkan lahirnya kesadaran bangsa Mesir untuk memperbaiki posisi dan jati dirinya dalam berhubungan dengan Barat. Tampaknya kemerdekaan nasional adalah jawaban bagi dominasi Barat. Namun untuk mencapai tujuan ini, perlu perbaikan dan pembaharuan masyarakat. Perbaikan kedudukan wanita adalah bagian dari pembaharuan ini. [2]
Perbaikan kedudukan wanita dimaksudkan untuk membebaskannya dari belenggu adat-istiadat yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Beberapa kalangan terpelajar Mesir merasa terpanggil untuk mengubah sebagian adat-istiadat yang merendahkan martabat wanita. Di antara mereka adalah Qa>sim Ami>n, seorang pengikut Muhammad Abduh yang menyadari perlunya perbaikan kedudukan wanita dengan membebaskannya dari belenggu-belenggu adat-istiadat yang bertentangan dengan ajaran asli dari al-Qura>n dan Sunnah Nabi. Dia menegaskan bahwa “Perbaikan keadaan suatu bangsa tak mungkin terwujud tanpa memperbaiki kedudukan wanita”.[3]
Pada tahun 1899 ia menerbitkan bukunya yang berjidil Tah}ri>r al-Mar’ah (emansipasi wanita) untuk menuntut penghapusan “adat hijab” yang berbeda dengan hakikat hijab dalam Islam. Dia pun menuntut agar kaum wanita mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak sejajar dengan yang diperoleh kaum pria supaya mereka dapat dengan baik membina masyarakat dan keluarganya. Selain itu dia juga menuntut perubahan dalam praktek poligami dan perceraian yang dianggapnya merugikan kaum wanita. [4]
Tidaklah mengherankan bila anjuran emansipasi wnaita dari Qa>sim Ami>n ini mendapat kecaman dan serangan dari kalangan ulama dan beberapa tokoh Nasional Mesir. Di samping pihak yang mendukung dan menyetujui anjurannya itu. Qa>sim Ami>n menjawab kecaman dan kritikan itu dengan menulis buku al-Mar’at al-Jadi>dah. Dalam buku keduanya ini dikemukakannya contoh-contoh perbandingan antara wanita Mesir dan wanita Eropa dan wanita Amerika.[5]
Emansipasi wanita merupakan suatu gerakan sosial dalam masyarakat untuk meningkatkan kualitas diri perempuan menuju kehidupan yang lebih layak dan menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Qa>sim Ami>n merupakan salah seorang tokoh Muslim yang memiliki perhatian besar terhadap masalah perempuan, dalam hal ini emansipasi. Qa>sim Ami>n berupaya menyelaraskan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat, bahwa Islam selama ini sering dipahami secara keliru oleh pemeluknya terutama masalah perempuan.
Sebenarnya ide emansipasi yang mencetuskan pertama kali adalah Rifa>at Al-T}aht}a>wi. tetapi pemikir  yang mempunyai perhatian besar untuk membicarakan hal itu lebih mendasar adalah Qa>sim Ami>n.[6]
Emansipasi adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris “emancipate” yang mengandung pengertian dasar memerdekakan, membebaskan. Dengan pengertian dasar tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan emansipasi adalah sebuah upaya untuk memerdekakan atau membebaskan sesuatu atau seseorang yang tidak merdeka, tidak bebas. Perempuan dikaitkan dengan emansipasi berakar dari persepsi bahwa kehidupan perempuan selama ini berada di bawah laki-laki. Oleh karena itu perempuan pun dapat diperlakukan apa saja yang dikehendaki pemiliknya. [7]
B.   Biografi Qa>sim Ami>n
Qa>sim Ami>n lahir di negeri Thurah di pinggiran kota Kairo pada tahun 1277 H/1861 M. Ayahnya bernama Muhammad Bek Ami>n, keturunan Turki, bekerja sebagai tentara yang didatangkan dari Iraq ke Mesir. Ibunya wanita Mesir dari Al-S{aid. Qa>sim Ami>n menempuh pendidikan dasar di Madrasah ra’s al-ti>n di Iskandariah, setelah itu ia masuk sekolah menengah madrasah al-Tajhiziyyu>n di Kairo. Tamat dari sini, ia melanjutkan studi di sekolah tinggi hukum (madrasah al-h}uqu>q), dan memperoleh ijazah lesence pada tahun 1298 H/1881 M. Setelah itu ia bekerja di kantor pengacara Mustafa Fahmi di Kairo, dan kemudian berangkat ke Perancis untuk mendalami ilmu hukum di Universitas Montpellier.[8]
Selama di Perancis, ia tetap mengikuti perkembangan situasi di Mesir sehubungan dengan usaha kaum nasionalis Mesir untuk mengambil alih pemerintahan dari kekuasaan asing. Kaum nasionalis yang digerakkan oleh Urabi Pasya berhasil menguasai pemerintahan dari tangan Turki. Tetapi Inggris yang merasa kepentingannya di Mesir terancam, segera menyerbu Mesir dan mengalahkan gerakan Urabi Pasha, kemudian menduduki Mesir. Beberapa pemimpin revolusi Urabi Pasha, seperti Muh}ammad Abduh ditangkap dan  diasingkan ke Paris. Qa>sim Ami>n membantu Muh}ammad Abduh mempelajari Bahasa Perancis.
Selain berkawan dengan Abduh, Qa>sim Ami>n juga berkenalan dengan Jamaluddi>n al-Afgha>ni yang diusir oleh Khedewi Taufiq dari Mesir atas tekanan Inggris. Karena itu, ia juga membantu penerbitan majalah al-urwah al-wuthqa>  di Paris yang hanya terbit selama beberapa bulan, sebab dibredel oleh penguasa penjajah.
Qa>sim Ami>n kembali ke Mesir pada tahun 1302 H/1885 M. ia diangkat menjadi hakim pada al-Mah}kamah al-Mukhwalat}ah. Kemudian setelah berpindah-pindah di beberapa kota sebagai hakim, ia diangkat menjadi mustashar (hakim agung) pada mah}kamah al-Istinaf   pada tahun 1309 H/ 1892M. Pada tahun 1900 M, ia mendirikan organisasi sosial Islam (al-Jamiyah al-khayriyah al-Isla>miyah).[9]
Qa>sim Ami>n adalah seorang pemikir yang tenang, seorang patriot dan nasionalis yang berfaham Islam. Selain sebagai hakim yang ulung, ia juga seorang sastrawan yang mengahayati makna keindahan dalam alam, musik dan berbagai kesenian. Ia mendapat pendidikan Arab dan pendidikan Perancis, karena itu ia berusaha memadukan yang baik antara budaya Perancis dan Arab dengan tetap merujuk kepada ajaran Islam.[10]
C.   Karya-karya Qa>sim Ami>n
Sepulang dari Perancis, Qa>sim Ami>m menulis sejumlah makalah di surat kabar al-Muayyad terbitan Mesir. Dalam makalahnya, Qa>sim Ami>n membantah pemberitaan pihak asing yang memojokkan tradisi Arab tentang hijab sebagai sebab kemunduran perempuan. Menurutnya, tradisi hijab sebagai gambaran tata krama, sopan santun, dan akhlak mulia. Tradisi ini dipraktikkan agar tidak berhias di depan laki-laki dan membatasi diri bertemu dengan laki-laki kecuali berkenaan dengan hal-hal yang sangat penting. Ratu Na>z}il Fa>d}il tersinggung atas isi makalah Qa>sim Ami>n, lalu ia meminta teman Qa>sim Ami>n yaitu Muh}ammad Abduh agar memberikan pengerian kepada Qa>sim Am>in agar berhenti menggambarkan realitas negatif perempuan Mesir, tetapi berusaha memperbaiki kondisinya. [11]
Muh}ammad Abduh menyampaikan pesan ratu kepada Qa>sim Ami>n bahwa perempuan Mesir tidaklah seperti yang digambarkan Qa>sim Ami>n dalam makalah-makalahnya. Bahkan Muh}ammad Abduh mengajaknya bergabung di klub yang didirikan oleh ratu. Di sanalah Qa>sim Ami>n menyaksikan perempuan yang berbeda. Dia menyaksikan perempuan cerdas mampu berbicara dengan Bahasa Perancis, Inggris, Turki, dan Arab seperti kemampuan salah satu anaknya. Dia menyaksikan perempuan memiliki daya nalar yang modern, mampu mendialogkan problematika perempuan dan negaranya secara keseluruhan, mampu mendiskusikan buku-buku asing atau pandangan-pandangan intelektual Barat yang pernah mengunjungi Mesir. Setelah keluar dari klub, ia beranggapan bahwa perempuan Mesir dapat maju melebihi perempuan Perancis yang pernah disaksikannya dengan syarat diberikan pendidikan yang benar. Qa>sim Ami>n mulai menulis makalah yang menyerukan pembebasan perempuan dari kebodohan dan pentingnya pendidikan bagi mereka (makalah tersebut pertama kali dimuat dalam surat kabar al-Muayyad )yang kemudian dikumpulakn menjadi sebuah buku Tah}ri>r al-Mar’ah yang diterbitkan tahun 1899.[12] Dalam Tah}ri>r al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) Qa>sim Ami>n lebih menekankan pada ide pembebasan perempuan dari belenggu diskriminasi dari kungkungan subordinasi.[13] Qa>sim Ami>n mencoba membuka kran-kran penyumbat kemajuan umat dengan menghilangkan tradisi subordinasi laku-laki terhadap perempuan. Metode yang digunakannya pun lebih menitikberatkan pada reinterpretasi al-Qura>n dan hadith yang seakan-akan selalu melegitimasi adanya sistem patriarkhi dalam masyarakat. [14]
Sedangkan buku keduanya yang termasuk magnum opus, al-Mar’ah al-Jadi>dah (Perempuan Modern) yang diterbitkan tahun 1901 berbeda dengan karya pertamanya. Qa>sim Ami>n mengembangkan dan memperkuat ide-ide pokok dalam karya sebelumnya.[15] Setelah kaum perempuan tercerahkan dengan ide-ide pembebasan (liberalisasi), Qa>sim Ami>n memulai memperjuangkan pemberdayaan perempuan. Di sini Qa>sim Ami>n terlihat aktif menyerukan urgensi pendidikan perempuan.
Dalam buku keduanya ini Ami>n tidak menjadiakan al-Quran dan shariah sebagai dasar argumennya lagi melainkan ilmu-ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial dari pemikiran Barat Modern, dan nama pemikir terkemuka, Herbert Spencer, muncul lebih dari sekali.
Standar penilaian sekarang adalah konsep-konsep besar abad ke-19 M: kebebasan, kemajuan, dan peradaban. Kebebasan artinya kemerdekaan manusia dalam berpikir, berkehendak, bertindak, sepanjang ia masih dalam batasan-batasan hukum dan menghormati moralitas, dan ia tidak tunduk di luar batas-batas itu pada kehendak orang lain. Inilah landasan dan kriteria dari semua bentuk kebebasan lainnya. Bilamana perempuan bebas, warga negara pun menjadi bebas; dan argumen-argumen yang digunakan untuk melawan kebebasan perempuan, sama persis dengan yang digunakan untuk melawan kebebasan manapun –sebagai contoh, kebebasan pers. Ketika masyarakat manusia mengalami kemajuan, demikian pula halnya dengan  hak-hak kaum perempuan.[16] Terdapat empat pokok dalam proses ini:
a.       Keadaan dunia ketika perempuan bebas;
b.      Periode pembentukan keluarga, ketika perempuan benar-benar ditundukkan;
c.       Pembentukan masyarakat sipil, ketika sejumlah haknya diakui tetapi ia tidak diperbolehkan melaksanakan hak-hak itu oleh tirani laki-laki;
d.      Periode peradaban yang sejati, ketika perempuan memperoleh seluruh haknya dan dengan sendirinya memiliki kedudukan yang sama sebagaimana laki-laki.
Negara-negara Timur berada pada tahap ketiga, sedangkan negara-negara Eropa berdapa pada tahap keempat:[17]
Lihatlah negara-negara Timur; kita akan mendapati bahwa perempuan menjadi budak laki-laki dan laki-laki menjadi budak penguasa. Laki-laki adalah penindas rumah tangganya, menindas lantas cepat-cepat meninggalkannya. Kemudian, lihatlah negara-negara Eropa; pemerintahan mereka berdasarkan pada kebebasan dan penghormatan terhadap haak pribadi, dan kedudukan kaum perempuan terangkat ke tingkat yang tinggi dengan penghormatan serta kebebasan berpikir dan bertindak.
Dari kedua karyanya ini, ditemukan relevansi pemikiran-pemikirannya, dari pembebasan perempuan melalui kritik tradisi sosial agama dan budaya, menuju perempuan modern yang berdaya dan tidak bisa diperdaya. Pemikiran Qa>sim Ami>n yang pertama masih berbau teks-teks agama, sedangkan karya keduanya. Ia ingin merekontruksi sosial setelah mendekonstruksinya.[18]

D.  Ide-ide Pembaharuan Qa>sim Ami>n
Menurut Qa>sim Ami>n umat Islam mundur karena kaum wanita, dengan logika bahwa separuh penduduk Mesir yang terdiri dari kaum wanita tidak pernah mendapat pendidikan sekolah, padahl pendidikan wanita tidak hanya untuk kepentingan mengatur rumah tangga saja, tetapi lebih jauh untuk dapat memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak. Maka berangkat dari kesimpulan inilah Qa>sim Ami>n melontarkan ide-ide pembaharuannya untuk mengangkat martabat kaum wanita. Di samping ide pendidikan, ia juga melontarkan ide kebebasan dan hak monogami wanita. Di antara ide-ide tersebut antara lain:
1.      Pendidikan wanita
Qa>sim Amin menjelaskan bahwa wanita itu sama seperti pria, tidak ada perbedaan bila dilihat dari segi anggota badan, tugas, perasaan, pemikiran, dan hak kemanusiaan. Kalaupun ada perbedaan antara keduanya, itu hanyalah perbedaan jenis kelamin.[19]
Qa>sim Amin mencoba mengembangkan ide-ide dasar tentang bagaimana memberikan pendidikan kaum wanita yang telah diletakkan oleh al-Taht}awi, dan di satu sisi ia ingin menerjemahkan ide-ide cemerlang dari gurunya Muh}ammad Abduh.
Pendidikan bagi kaum wanita merupakan sesuatu yang sangat penting dalam rangka memajukan suatu bangsa, baik ditinjau dari statusnya sebagai anggota masyarakat ataupun sebagai ibu rumah tangga.
Nazira Zein ed-Di>n, seorang teolog perempuan yang luar biasa dalam hal ini juga sepakat dengan Qa>sim Ami>n. Dia juga mengutip dari apa yang dikatan oleh Qa>sim Ami>n[20]:
Dengan dipotongnya sayap-sayap mereka, kepala tertunduk dan mata tertutup. Bagi laki-laki merupakan kebebasan dan bagi perempuan merupakan perbudakan. Bagi laki-laki merupakan pendidikan, sedang bagi perempuan merupakan ketidakpedulian. Bagi laki-laki adalah pemikiran yang sehat, sedangkan bagi perempuan merupakan pemikiran yang rendah mutunya. Bagi laki-laki merupakan terang benderang dan ruang terbuka, sedangkan bagi perempuan merupakan kegelapan dan keterbelakangan. Bagi kaum laki-laki adalah perintah, sedangkan bagi perempuan adalah ketaatan dan kesabaran. Bagi laki-laki segala sesuatu ada di alam ini, sedang bagi perempuan, sebagiannya telah dirampok oleh laki-laki.

Wanita menurutnya tidak mungkin dapat mengurus rumah tangga dengan baik kecuali dengan bekal ilmu pengetahuan, setidak-tidaknya ilmu mesti mengetahui pengetahuan yang diberikan kepada pria. Dengan bekal pengetahuan dasar ini ia dapat memilih sesuatu yang sesuai dengan perasaannya dan dapat berbuat penuh keyakinan.
Dengan mengetahui baca tulis, wanita dapat memahami berbagai ilmu pengetahuan, seperti geografi, sejarah, biologi, dan IPA, sehingga diri wanita penuh dengan bekal ilmu-ilmu tersebut. Melalui bekal pengetahuan mereka tentang aqidah dan peradaban agama maka intelektualitas mereka siap untuk menerima pendapat-pendapat yang rasional dan mereka sanggup melepaskan diri mereka dari kubangan khurafa>t dan kebat}ilan yang telah menyerang wanita.[21]
Dari pernyataan Qa>sim Ami>n di atas dapat dipahami bahwa rupanya tidaklah terlalu ideal gagasan yang ia kemukakan tentang pendidikan wanita. Qa>sim Ami>n waktu itu tidaklah mengharapkan agar pendidikan wanita betul-betul sejajar dengan pendidikan pria dalam semua jenjang pendidikan, akan tetapi paling tidak ada persamaan pada pendidikan dasar. Agaknya Qa>sim Ami>n mendambakan agar kaum wanita Mesir mendapat pendidikan formal walaupun setingkat sekolah dasar. Jika mereka sudah mendapat pendidikan formal maka paling tidak mereka akan mampu mengatur rumah tangga, mampu mendidik anak-anak dengan baik dan meninggalkan dogma yang telah membelenggukan mereka. Menurut pendapatnya adanya persepsi-persepsi masyrakat yang berkembang pada saat itu tentang pendidikan wanita tidaklah dibenarkan.[22]
Qa>sim Ami>n ingin membawa umat Islam ke arah kemajuan dengan jalan memberikan pendidikan bagi kaum wanita sebagai bagian dari anggota masyarakat yang terpisahkan. Sebagian anggota masyarakat bila tidak diberikan pendidikan, maka mereka tidak akan dapat berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, bahkan barangkali akan menjadi beban sosial. Sebagai ibu rumah tangga diharapkan mampu mendidik anak-anak dan mendampingi suami, mampu menciptakan rumah tangga yang harmonis dan saling pengertian.[23]
Pendidikan semestinya tidak diarahkan hanya pada manajemen rumah tangga yang benar, tetapi harus memiliki tujuan lain yang lebih penting, yaitu mempersiapkan kaum perempuan supaya mampu mencari nafkah mereka sendiri. Inilah satu-satunya jaminan yang nyata terhadap hak-hak perempuan. Kecuali mampu manafkahi diri sendiri, perempuan akan selalu bergantung pada belas kasih tirani laki-laki, apa pun hak yang diberikan oleh hukum kepada mereka, sehingga ia harus memiliki kekuatan untuk melindungi diri sendiri dengan sarana tidak langsung. Pendidikan akan mengakhiri tirani, dan dengan demikian, juga akan mengakhiri cadar dan pingitan terhadap perempuan.[24]
Jika kita telaah ke belakang melihat pada sejarah, kenapa sejarah pendidikan perempuan mengalami keterputusan sejarah sehingga tertinggal jauh dari pendidikan laki-laki? Padahal dulunya banyak sekali tokoh-tokoh perempuan yang muncul dalam lembaran sejarah dunia Islam, khususnya pasca masa Rasulullah SAW. dan para sahabat Nabi.
Tokoh perempuan dalam bidang keilmuan diantaranya; bidang fiqih (Amra binti Abdurrah}ma>n [98H/716M], H{afs}ah binti Sirrin [100H/718M], Aishah binti T{alh}ah , Ummu al-Bani>n Atikah), bidang hukum (Ummu Isa binti Ibrahi>m [328H/939M], Amah al-Wah}id [377H/987M], Fat}i>mah dari Samarkand [6H/12M], Ain al-Sham binti Ah}mad [610H/1213M], Ummu al-Baqa’ Khadi>jah binti al-H{asan [641H/1243M], Ummu Zaina>b Fat}imah binti Abbas [714H/1314M], Ummu al-Izz Nudar binti Ah}mad [702-730H/1302-1329M], Aishah binti Ali [761-840H/1359-1436M], Ummu Hani Maryam [778-871H/1376-1466M], Aishah al-Bauniyah [922H/1516M], Khadi>jah binti Muh}ammad al-Bailuni [930H/1523M], Zubaidah binti Asa>d (1194H/1780M]). [25] Selain fiqih, banyak juga wanita yang ahli bersyair, hadith, dan tasawuf.[26]
Dari sini dapat kita ambil kesimpulan, bahwa sesungguhnya Islam sendiri telah mengangkat harkat dan martabat wanita yang pada zaman Jahiliyyah dihina. Muh}ammad SAW. sangat memahami tentang wanita.
Untuk itu, Ami>n memcoba  merumuskan beberapa strategi dan prinsip pendidikan yang di tawarkan Amin adalah:
a.       Perempuan harus di beri pendidikan dasar yang setara dengan laki-laki, tujuanya untuk mendapat generasi yang tanggap dan selektif dalam menerima pendapat yang datang dari luar, maka perlu di berikan pengetahuan yang layak yang diberikan di sekolah menengah.
b.      Selanjutnya harus diberikan pendidikan intelektual yaitu studi tentang ilmu pengetahuan dan seni. Ini untuk menjamin seseorang agar terbiasa dengan esensi kehidupan dan tempat didalamnya, agar ia bisa menunjukkan tingkah lakunya terhadap segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat menikmati faedah dari ilmu pengetahuan dan hidup dengan bahagia.
c.       Pendidikan Akhlak dan budi pekerti juga harus di berikan sedini mungkin perempuan dapat menanamkan jiwa kemanusiaanya, pergaulan dalam keluarga dan kerabat  menjadi lebih sempurna
d.       Pendidikan yang ideal menurut Ami>n adalah pendidikan yang berlangsung seumur hidup, karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses belajar yang tidak boleh berhenti.[27]

2.      H{ijab atau Jilbab
Cara berpakaian kaum wanita yang menutup seluruh tubuh menurut Qa>sim Ami>n adalah adat istiadat yang menghambat kemajuan wanita. Cara berpakaian yang demikian mereka namakan h}ijab. Ia berpendapat bahwa menutup muka bagi wanita tidak berdasarkan dalil agama, al-Quran dan hadith. Dalam al-Quran dan hadith tidak terdapat ajaran yang mengatakan bahwa wajah wanita merupakan aurat dan oleh karena itu harus ditutup. Penutup wajah (cadar) adalah kebiasaan yang kemudian dianggap ajaran Islam. Demikian juga soal pemisahan wanita dalam pergaulan, tidak terdapat di dalam al-Quran dan hadith. Penutupan wajah dan pemisahan wanita membawa kepada kedudukan rendah dan menghambat kebebasan dan pengembangan daya-daya mereka untuk mencapai kesempurnaan.[28]
Pertama-tama harus menilik apa yang sesungguhnya dikatakan oleh al-Quran dan shariah mengenai pokok bahasan ini. Ami>n berpendapat bahwa tidak terdapat larangan yang umum dan tegas mengenai kaum perempuan yang membuka wajah mereka; ini adalah perkara yang diserahkan pada kenyamanan dan kebiasaan, dan jelas bahwa tidak nyaman bagi perempuan untuk memelihara hak-hak mereka dan menjalankan peran mereka di masyarakat dari balik cadar. Sebagai contoh, bagaimana mereka dapat membuat perjanjian dan melaksanakan urusan hukum? Perempuan yang memakai cadar tidak dengan sendirinya memelihara kebajikan; sebaliknya beberapa jenis cadar membangkitkan hasrat birahi.[29]
Bila kita perhatikan ayat al-Quran yang berkenaan dengan cara berpakaian wanita dalam surat al-Nu>r ayat 31[30], maka tidak terdapat keterangan bahwa wanita dalam berpakaian harus berjilbab, masalah aurat wanita dalam berpakaian harus berjilbab, masalah aurat wanita dan cara menutupnya belum ada batasan shari yang tegas. Maka dalam kaitan ini Harun Nasution menegaskan seperti yang dikutip oleh Ris’an Rusli, di dalam al-Quran tidak dijelaskan aurat itu yang mana “illa> ma> z}ahara minha>, wa la> yubdi>na zi>natahunna” itu apa? zi>nat itu apa? zi>nat itu arti aslinya perhiasan. Perhiasan itu emas dan segala macam itu, tapi kemudian ulama mengatakan bukan itu yang dimaksud, yaitu bagian tubuh wanita yang menarik bagi lelaki. Timbulnya pertanyaan, manakah bagian tubuh wanita yang menarik bagi lelaki? Akan berbeda sesuai dengan perbedaan masyarakatnya. Apa yang bagi orang Arab sudah sangat menggugah, bagi lelaki Barat belum apa-apa. maka ulama-ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan aurat itu adalah dua alat vital itu. Selainnya, bukan aurat. Karena itu ada yang berpendapat yang wajib menutup itu saja, tidak perlu ditutp seluruhnya. [31]
Ketika Qa>sim Ami>n melontarkan gagasannya tentang hijab atau jilbab ini orang beranggapan bahwa ia menolaknya, namun sebenarnya bukanlah demikian yang diinginkannya. Ia selalu mempertahankan hijab dan memandangnya sebagai salah satu prinsip dasar etika yang harus dipegang. Cuma dia menginginkan hijab yang sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Menurutnya kita terlalu berlebih-lebihan dalam menetapkan hijab wanita.[32]
3.      Perkawinan
Kritik awal yang dilontarkan oleh Qa>sim Ami>n dalam persoalan perkawinan ini adalah tentang definisi nikah yang telah dibakukan ulama:
الزواج بأنه عقد يملك به الرجل بضح اطرأة

Definisi seperti ini menurutnya membawa efek negatif, seolah-olah perempuan itu dinikahi oleh laki-laki untuk tujuan istimta (bersedapan biologis) semata, tidak terdapat dalam definisi tersebut kata-kata yang mengandung makna kewajiban moral atas suami untuk menjalin rasa cinta kasihnya kepada istri.
Qa>sim Ami>n mengajukan bahwa ada ayat al-Quran yang pantas untuk dijadikan definisi nikah, yaitu surat al-Ru>m ayat 21:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dalam kandungan ayat tersebut, terkandung makna keharusan sang suami untuk menggauli istrinya dengan jaliinan kasih sayang.
Islam memberikan hak yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam masalah perkawinan. Dalam syariat Islam tidak ada ajaran yang mengacu pada perendahan derajat kaum wanita, malah sebaliknya, sang suami diperintahkan untuk menumpahkan kasih sayangnya terhadap istri dan keluarganya.untuk pembelaan hak wanita ini ia ajukan beberapa argumen di antaranya, Q.S. an-Nisa>’ ayat 14 dan Q.S>. al-Baqarah ayat 228.[33]
Jika wanita sudah memahami hak-haknya dan merasa punya harga diri, maka pada saat itu perkawinan merupakan sarana untuk merealisasikan kebahagiaan suami-istri.[34]
Dalam hal ini, Qa>sim Ami>n menentang sepihak, yaitu dari pihak pria dalam soal perkawinan. Menurut pendapatnya, wanita harus diberikan hak yang sama dengan pria dalam memilih jodoh. Oleh karena itu ia menuntut supaya istri diberi hak cerai. Sungguhpun poligami disebut dalam al-Quran, ia berpendapat bahwa Islam pada hakikatnya menganjurkan monogami.[35]
Poligami menurutnya merupakan sikap merendahkan kaum perempuan, tak seorang perempuan pun yang rela berbagi suami dengan perempuan lain, dan jika seorang laki-laki mengambil istri kedua, itu bisa terjadi dengan mengabaikan keinginan dan perasaan istri pertama. Dalam beberapa keadaan poligami diperbolehkan, sebagai contoh, jika istri pertama menjadi gila atau tak bisa punya anak, tetapi bahkan lebih baik jika laki-laki tidak menggunakan haknya, bersikap baik, dan menahan diri. Tentu saja tak bisa diingkari bahwa al-Quran secara khusus memperbolehkan poligami, tetapi meskipun demikian juga memberi peringatan akan bahayanya.[36]dan Qa>sim Ami>n mengikuti Thah}t}a>wi dan Abduh dalam menempatkan tekanan pada syarat itu, dan menunjukkan bahwa laki-laki pada kenyataannya sama sekali tidak mampu berbuat adil kepada semua istrinya.
Perceraian juga dibolehkan dalam kasus yang tidak dapat dielakkan, tetapi pada dasarnya perceraian dibenci. Sebaiknya menahan diri sebisa mungkin dari perceraian, dan hanya memilih jalan ini jika tak terelakkan. A>min memikirkan secara khusus mengenai perceraian yang dibuat-buat yang dipraktikkan di bawah hukum Islam karena alasan keuangan atau alasan-alasan lainnya. Jika perceraian dipraktikkan dengan segala cara, kaum perempuan harus memiliki hak yang sama untuk menuntut perceraian sebagaimana laki-laki.[37]
Dalam masalah talak, Qa>sim Ami>n menjelaskan bahwa talak tersebut sama halnya dengan poligami, yang hanya dibolehkan karena dalam kondisi terpaksa atau karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum Islam. Sedangkan hukum asalnya adalah mah}z}u>r, dalam konteks ini dia mengatakan:
إن الطلاق محظور في نفسه مباح للضرورة
Selanjutnya ia mengatakan bahwa banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini, di antara Q.S. an-Nisa>’ 19[38] dan sebuah hadith yang berbunyi:
أبغض الحلال عند الله الطلاق
Dari kritikan yang diajukan Qa>sim Ami>n tentang masalah perkawinan dapat dipahami bahwa upaya yang ia ajukan adalah demi meningkatkan martabat wanita dan membatasi sikap monopoli kaum pria. Oleh sebab itu ia mengajukan konsep undang-undang perkawinan, khusunya mengenai masalah talak.[39]
4.      Perempuan dan Bangsa
Menurut Ami>n bangsa mesir perlu menghimpun kekuatan untuk mengimbangi kekuatan asing terutama kekuatan non materi, berupa landasan dari segala kekuatan. Untuk menjelaskan hal ini, Ami>n mencoba meminjam kerangka Darwin, dengan menyebutkan bahwa survei masyarakat  tidak hanya terkait tinggi rendahnya nilai keagamaan  dan akhlaq yang mereka punyai, tetapi juga sejauh mana kesiapan masyarakat  dalam menerima tingkah laku perkembangan itu sendiri.
Jika ilmuan beranggapan bahwa agama merupakan penyebab kemunduran umat islam, maka amin dengan tegas menolak pendapat ini. Karena tubuh umat islam telah di rasuki berbagai bidah itu saja tidak cukup untuk menjelaskan ketertinggalan umat islam. Penyebab paling mendasar menurut Ami>n adalah meluaskan kebodohan di kalangan mereka yang di sebut Amin sebagai penyakit sosial yang berbahaya dalam sebuah masyarakat. Untuk itu perlu mempersiapkan generasi yang lebih baik.[40]

E.   Antara Indonesia dan Mesir
Ada kemiripan perjuangan perempuan menuju kesetaraan gender di Indonesia dan Mesir. Kedua negara mulai memperjuangkan hak-hak perempuan sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang diprepresentasikan oleh Qa>sim Ami>n dan Muh}ammad Abduh di Mesir dan R.A. Kartini di Indonesia. Kedua tokoh ini melihat bahwa pendidikan adalah aspek utama yang harus digalakkan bagi perempuan untuk meningkatkan martabatnya.[41]
Pada akhir abad ke-19 keadaan perempuan di kegua negara ini tidak jauh berbeda. Perempaun Mesir harus hidup dalam institusi h}ari>m, sementara di Indonesia dikenal dengan istilah pingitan. Kedua term ini menunjukkan bahwa anak perempuan tidak bebas seperti anak- laki-laki pada umumnya. Mereka harus tinggal di rumah dan belajar untuk menjadi ibu rumah tangga.
Pada awalnya kedua wilayah memperlakukan perempuan sederajat dengan laki-laki. Bahkan penghormatan mereka terhadap perempaun sangat tinggi mengalahkan laki-laki. Bahkan sejarah Indonesia dan Mesir mencatat bahwa banyak perempauan pernah menjadi raja sukses dan dihormati rakyatnya. Hanya saja keadaan ini lambat laun berubah tanpa batas terhadap laki-laki. Di indonesia hal ini disebabkan feodalisme yang diterapkan di kerajaan mataram yang menjadikan istri sebagai simbol keperkasaan raja-raja. Pada saat itulah perempuan beralih posisi dari subjek menjadi objek. Sementara di Mesir perubahan itu terjadi saat lahirnya Undang-undang Filobatur (222 SM) berisi larangan kepada perempuan untuk menjalankan aktifitas ekonomi dalam masyarakkat dan keluarga, larangan kepada laki-laki untuk taat kepada perempuan baik sebagi ibu, istri, atau anak, dan perubahan pola relasi matriarki menjadi patriarki, melarang perempaun untuk bertanggungjawab atas dirinya dan memberikan tanggungjawab itu kepada laki-laki.[42]
Status sosial masyarakat kedua negara memiliki kemiripan. Kalangan menengah yang hidup di kotamereka dengan ketat memberlakukan h}ari>m dan pingitan. Sementara kalangan desa, anak perempuannya tetap membantu orangtuanya bertani atau berdagang di pasar demi kelangsungan hidup.[43]
Pendirian sekolahpun pada kedua negara, dari segi masa nampaknya bersamaan. Demikian pula mata pelajaran yang diberikan perempuan di sekolah atau di rumah ada kemiripan antara keduanya. Pelajaran yang diberikan adalah bahasa dan keterampilan yang dianggap mendukung dirinya dalam rumah tangga.[44]
Perbedaan yang menonjol adalah bahwa di Mesir perjuangan perempuan tersebut berbarengan dengan perlibatan nilai-nilai agama sebagai pendukung basis perjuangan tersebut. Artinya, masa Qa>sim Ami>n adalah masa awal perjuangan perempuan menuju kesetaraan gender sekaligus masa itu dianggap sebagai masa kebangkitan tafsir gender. Hal ini disebabkan perjuangan Qa>sim Ami>n tidak hanya diselesaikan melalui pendekatan sosial tetapi juga melibatkan al-Quran dan Hadith sebagai basis perjuangan. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Kartini yang dianggap sebagai pejuang awal perempuan belum menjadikan agama (al-Quran dan Hadith) sebagai solusi terhadap ketimpangan kaumnya. Meskipun keterlibatan perempuan dalam peperangan merebut kemerdekaan sering dianggap sebagai partisipasi umat Islam yang dominan di dalamnya, tapi realitas ini berbeda dengan di Mesir.[45] Selanjutnya adalah tabel yang menunjukkan bagaimana persamaan dan perbedaan antara Mesir dan Indoensia.


Uraian
Indonesia
Mesir
Awal kebangkitan perempuan
Periode I  : 21 April 1879
Periode II : 1991
Desember 1863
Tokoh
1.      Kartini, Dewi Sartika
2.      Nasaruddin Umar, Musdah   Mulia ,Zaitunah Subhan
Qa>sim Ami>n dan Muh}ammad Abduh
Kondisi sosial
Poligami, pingitan, pendidikan, kolonial, dan patriarkat.
Poligami, h}ija>b/h}ar>im, pendidikan, kolonial, dan patriarkat. 
Masyarakat
1.      Priyayi: Poligami, pingitan dan terdidik
2.      Masyarakat biasa: terbelakang
1.      Menengah atas: poligami dan terdidik
2.      Masyarakat biasa; terbelakang
Bentuk perjuangan
1.      Menentang poligami dan patriarkat, menuntut pendidikan dan lapangan kerja
2.      Menuntut keterampilan dan pendidikan, lapangan kerja.
1.      Menentang poligami dan patriarkat, menuntut pendidikan dan lapangan kerja
2.      Menuntut keterampilan dan pendidikan, lapangan kerja.
Tafsir gender
1.      Sosial-sekuler
2.      Akademis-teologis
Sosial-teologis
Matriarki ke patriarki
Kerajaan Mataram
UU Filobatur (222 SM)
Sekolah perempuan
Mulai 1913
Mata pelajaran:
keterampialn, menulis, dan mebaca
Mulai 1873
Mata pelajaran:
keterampialn, membaca, bahasa Inggris dan Perancis
Penerbitan buku kesetaraan gender
1.      Habis Gelap Terbitlah Terang (1911)
2.      Argumen kesetaraan Gender (1999), Tafsir Kebencian (1999), menggugat poligami (1999)
1.      Tah}ri>r al-Mar’ah (1899)
2.      Al-Mar’ah al-Jadi>dah (1901)
3.      Tafsi>r al-Mana>r[46]
Wanita adalah sama dengan pandangannya terhadap pria dilihat dari segi kemanusiaan. Wanita adalah manusia dan priapun manusia, masing-masing tidak berbeda dari segi kemanusiaannya, bahkan tidak ada keistimewaannya bagi yang satu atas yang lainnya dari sudut ini, atas dasar inilah pandangan islam terhadap pria dan wanita adalah sama.
Emansipasi artinya kemerdeekaan atau pembebasan, sedangkan yang dikatakan dengan emansipasi wanita yaitu kemerdekaan atau pembebasan bagi kaum perempuan dalam memperjuangkan hak kesetaraan dengan kaum pria.
MenurutQasim, kebebasan kaum perempuan adalah masalah pertama yang harus diperjuangkan. Karena bagaimanapun, kebebasan merupakan kekayaan termahal bagi setiap manusia yang memiliki hak untuk merdeka dan bebas. Namun perlu menjadi catatan, kebebasan yang ditekankan Qasim bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas, melainkan kebebasan yang dibatasi dengan kerangka syariat agama dan etika sosial. Kondisi kaum perempuan pada waktu itu bisa disamakan dengan budak, karena budak adalah orang yang terampas kemerdekaan dan hak-haknya. Jangankan hak untuk memperoleh pendidikan, kebebasan untuk berkehendak saja sudah sedemikian terkekang. Sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat lebih banyak, baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakatnya.
Gender adalah suatu konsep , rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yng membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan  yang dikerenakan perbedaan biologis atau kodrat yang oleh masyarakat kemudian dibekukan menjadi budaya dan seakan tidak bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi perempuan.[47]

     Kesimpulan
                  Setelah membahas  tentang masa pemerintahan Mesir pada masa Qasim Amin penyusun dapat menyimpulkan bahwa gagasan pembaharuan Amin ini berasal dari ketidakpuasannya  setelah ia melihat realitas sosial; perempuan dan perlakuannya.
Untuk menyiapkan kenyataan ini, Amin mencoba menawarkan alternatif pada tingkat intelektual dan pada tingkat praktis sosial untuk alternatif yang pertama Amin menawarkan perlu di lakukan upaya mengembalikan martabat seorang perempuan  dan desakralitas  untuk  perempuan sebagai jalan untuk  mewujudkan visi ideal islam tentang perempuan itu.
Disamping itu cara ini juga di yakini Amin  sebagai salah satu cara  untuk Mesir sebagai sebuah negara.
Di lihat dari cara kerja pembaharuannya, sepertinya Amin lebih cenderung menggunakan  pendekatan kultur dalam  mewujudkan  pikiran-pikiran pembaharuannya. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat perempuan  yang tidak bisa dipisahkan dengan pemberdayaan masyarakat  bangsa secara umum sebagai jalan menuju citi-cita pembaharuannya.[48]
Daftar Pustaka
Hourani, Albert, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, diterj: Suparno, Dahrits Setiawan, dan Isom Hilmi, (Bandung: Mizan, 2004)  

Kurzman, Charles, Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2001).

Hasan, Hamka, Tafsir Gender, [Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009].

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bukan Bintang, 2011).

Ilahi, Kurnial, Perkembangan Modern dalam Islam, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau).

Ilahi, Kurnial, Emansipasi wanita menurut Qasim Amin, dalam jurnal:
Perempuan, Agama, dan Jender Marwah, Vol. 1, No. 2 Desember Th. 2001.

Rusli, Risan, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2013).

Nizar, Samsul, Pendidikan Perempuan: Kajian Sejarah yang Terabaikan, dalam jurnal Perempuan, Agama, dan Gender: Marwah, Vol. VII, No. 2 Desember Th. 2008.

Erni, Sukma, Perempuan dan Emansipasi, dalam jurnal Perempuan, Agama, dan Gender: Marwah, Vol. II, No. 4 Desember Th. 2003.

Zikwan, Emansipasi Wanita Menurut Qa>sim Ami>n, dalam pdf, diunduh 28 mei 2014.


    





           


*penulis adalah alumni Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Putri 1. Kini menjadi Mahasiswa di UIN SUSKA Riau Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan jurusan Pendidikan Agama Islam konsentrasi Quran Hadith.
[1] Kurnial Ilahi, Emansipasi Wanita menurut Qasim Amin, dalam jurnal: Perempuan, Agama, dan Jender Marwah, Vol. 1, No. 2 Desember Th. 2001, h. 2
[2] Kurnial Ilahi, Emansipasi Wanita menurut Qasim Amin, 2
[3] Kurnial Ilahi, Emansipasi Wanita menurut Qasim Amin, 2
[4] Kurnial Ilahi, Emansipasi wanita menurut Qasim Amin,l dalam jurnal: Perempuan, Agama, dan Jender Marwah, Vol. 1, No. 2 Desember Th. 2001, h. 2
[5] Kurnial Ilahi, Emansipasi wanita menurut Qasim Amin, dalam jurnal: Perempuan, Agama, dan Jender Marwah, Vol. 1, No. 2 Desember Th. 2001, h. 3.
[6]Zikwan, Emansipasi Wanita Menurut Qa>sim Ami>n, dalam pdf, diunduh 28 mei 2014.
[7]Sukma Erni, Perempuan dan Emansipasi, dalam jurnal Perempuan, Agama, dan Gender: Marwah, Vol. II, No. 4 Desember Th. 2003. 47.
[8] Kurnial Ilahi, Perkembangan Modern dalam Islam, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau), 244.
[9] Kurnial Ilahi, Perkembangan Modern dalam Islam, 245.
[10] Kurnial Ilahi, Perkembangan Modern dalam Islam, 246.
[11] Hamka Hasan, Tafsir Gender, [Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009], 89.
[12] Hamka Hasan, Tafsir Gender, 90.
[13]Pembaharuan dan gagasan Qa>sim Ami>n terhadap pendidikan dan poligami bukanlah hal baru di Dunia Arab atau Mesir. Al-T{aht}awi dan Muh}ammad Abduh telah menyuarakan 1870-1n dan 1880-an yang memicu kontroversi hebat. Kemarahan dan kecaman yang disulut oleh karya Qa>sim Ami>n baru bisa dipahami ketika orang mempertimbangkan bukan pembaharuan substantif bagi kaum perempuan yang dianjurkannya melainkan pembaruan simbolis. Di samping itu, objek pembaruan yang didengungkan adalah menyangkut aspek fundamental dalam kebudayaan masyarakat Arab dan Mesir. (Lihat Hamka Hasan, Tafsir Gender, 96-97.)
[14] Hamka Hasan, Tafsir Gender, 96-97.
[15] Hamka Hasan, Tafsir Gender, 90.
[16]Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, diterj: Suparno, Dahrits Setiawan, dan Isom Hilmi, (Bandung: Mizan, 2004),                
[17] Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, 270-271.
[18] Hamka Hasan, Tafsir Gender, 97.
[19] Risan Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 136.
[20] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2001), 138.
[21] Risan Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, 137.
[22]Risan Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, 138.
[23] Risan Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, 138.
[24] Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, 266.
[25] Samsul Nizar, Pendidikan Perempuan: Kajian Sejarah yang Terabaikan, dalam jurnal Perempuan, Agama, dan Gender: Marwah, Vol. VII, No. 2 Desember Th. 2008, 131-133.
[26] Samsul Nizar, Pendidikan Perempuan: Kajian Sejarah yang Terabaikan, dalam jurnal Perempuan, Agama, dan Gender: Marwah,133-136.
[28] Risan Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, 138-139.
[29] Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, 266-267.
[30] Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
[31] Risan Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam,139
[32] Risan Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam,140
[33]Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. an-Nisa>’ ayat 14). Dan
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Baqarah ayat 228). (lihat Risan Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam,141)
[34] Risan Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, 141.
[35]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bukan Bintang, 2011), 70.
[36]Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S. An-Nisa>’[4]: 3).
[37] Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, 267-268.
$ygƒr'¯»tƒ[38] z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 ÇÊÒÈ  

19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

[39] Risan Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam, 142.
[41] Hamka Hasan, Tafsir Gender, 97.
[42] Hamka Hasan, Tafsir Gender, 98.
[43]Hamka Hasan, Tafsir Gender, 98.
[44]Hamka Hasan, Tafsir Gender, 98-99.
[45]Hamka Hasan, Tafsir Gender, 99
[46]Hamka Hasan, Tafsir Gender, 100.  
[48]file:///D:/MATERI%20SEMESTER%204/PMDI/Kumpulan%20Makalah%20Pendidikan%20Agama%20Islam%20%20MAKALAH%20PMDI%20%28Pembaharuan%20Di%20Mesir%20Pada%20Masa%20Qasim%20Amin%29.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar